by : Nongklek Aza
Rabu, 22 Mei 2013
Peneleh merupakan salah satu kawasan asli Kota
Surabaya. Nama Peneleh lahir di zaman Kerajaan Singosari. Asal kata “peneleh”
berasal dari lokasi ini yang dahulunya merupakan tempat bersemayamnya pangeran
pilihan (pinilih), putra Wisnu Wardhana yang memiliki pangkat setara dengan
bupati. Pangeran tersebut kemudian diangkat menjadi pemimpin di daerah yang
berada antara Sungai Pegirian dan Kalimas ini. Kawasan Peneleh sendiri
merupakan salah satu bagian sejarah Kota Surabaya karena di dalamnya memiliki beberapa
peninggalan bersejarah diantaranya masjid kuno Peneleh, rumah HOS Cokroaminoto
(tempat proklamator Ir. Soekarno tinggal pada saat beliau bersekolah),
perkampungan tua, Pasar Peneleh (salah satu tempat di Jawa dimana saat itu buah
anggur dapat dibeli) serta Makam Peneleh yang merupakan salah satu makam tertua
di Jawa Timur.
Makam Peneleh, merupakan sebuah komplek pemakaman
yang dibangun tahun 1814 dan menempati areal seluas 4,5 hektare. Meskipun
kondisinya saat ini sangat kumuh dan memprihatinkan, namun masih menyisakan
sisa-sisa eksotisme masa lalu. Banyak hal yang bisa digali di dalamnya. Detail
ornamen berlanggam gothic dan doric, patung-patung berkarakter Romawi (meskipun
sebagian besar sudah tidak dalam kondisi utuh) hanyalah sebagian kecil dari
keindahan masa lalu yang masih bisa ditelusuri. Kisah hidup mereka yang
meninggal bisa ditemukan di prasasti batu marmer ataupun besi cor.
Makam salah seorang presiden perusahaan VOC yang
memiliki papan dari pinus India merupakan salah satu di antaranya. Beberapa
jejak sejarah penting yang masih bisa ditelusuri antara lain, kuburan Gubernur
Jenderal Pieter Merkus, satu-satunya pejabat tertinggi di Hindia Belanda yang
dimakamkan di Peneleh. Gubernur Jenderal ini meninggalkan teka-teki di akhir
hidupnya. Dia merupakan satu-satunya pejabat tertinggi negeri ini (saat itu)
yang meninggal pada saat menjabat.
Pilihannya untuk pindah ke Surabaya pada saat
sakit masih menjadi tanda tanya. Pejabat ke 47 ini lahir di Naarden, 18 Maret
1787 dan meninggal pada 2 Agustus 1844 pada umur 57 tahun. Prasasti di atas
makam Merkus yang berusia hampir 170 tahun masih jelas terbaca. Prasasti
tersebut berbahasa Belanda yang jika diartikan berbunyi : Paduka yang mulia
Pieter Merkus, komandan pasukan tempur Hindia, veteran perang Prancis, Gubernur
Jenderal Hindia Belanda, memimpin tanah dan laut harapan Tuhan dan lain-lain.
Beliau wafat di Simpang Huis (Istana Simpang atau Grahadi) 2 Agustus 1844.
Menurut salah satu ahli waris pemuka Belanda yang dimakamkan di Peneleh itu,
Rob van de Ven Renardel, keputusan Merkus di akhir hayatnya menimbulkan
teka-teki di Sejarah Belanda.
Merkus, kata Rob, yang saat itu tinggal di
Batavia memutuskan tinggal di Istana Bogor ketika sakit. “Namun ketika
kesehatannya makin buruk dia memilih tinggal di Istana Simpang di Surabaya,”
kata Rob dalam Majalah Monsun, edisi 10 April 1999. Perjalanan di
Batavia-Surabaya yang melelahkan hampir sepekan itu justru membuat sakitnya
bertambah parah. Ada dugaan Merkus ingin beristirahat sehingga memilih kota
panas. Namun ada pandangan lain yang menyakini bahwa Merkus disingkirkan dari
kekuasaan dan diasingkan oleh Belanda karena dianggap tidak loyal. Selain
Merkus masih banyak tokoh-tokoh penting lain yang dimakamkan di sini seperti
Pendeta pioner Ordo Yesuit di Surabaya, Martinus van den Elsen, yang berada di
seberang pintu masuk. Makam puluhan biarawati Jalan Ursulin (Jl Darmo).
Komandan perang Indochina, Neubronner van der Tuuk. Bahkan ada pula kuburan
Rambaldo, orang pertama yang menjadi penerbang di Hindia. Makam arsitek
Jembatan Porong, Ibrahim Simon Heels Berg hingga makam Wakil Kepala Mahkamah
Agung, PJN de Perez. Namun kondisi komplek pemakaman yang tidak terawat
menimbulkan keprihatinan tersendiri. Sisa-sisa makam dan prasasti yang
berserakan, lingkungan kumuh merupakan sedikit gambaran kondisi makam saat ini.
Memang, kompleks ini merupakan makam orang-orang Belanda, namun apa yang ada di
dalamnya merupakan sebuah bukti yang bisa menjadi benang merah sejarah
keberadaan Kota Surabaya. Sebuah pekerjaan rumah bersama yang harus segera
dicari solusinya oleh semua komponen masyarakat Surabaya.
Sumber bahan:
- “Menyelamatkan Makam Peneleh, Dari Serdadu
sampai Gubernur Jenderal”, Judi Prasetyo, Surya Online 25 Mei 2009
- Djawa Tempo Doeloe, Priyambodo
Prayitno, blog
Tidak ada komentar:
Posting Komentar